Beberapa
sumber menyatakan bahwa karinding
telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima
ratus tahunan maka karinding
diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada
di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah
di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik
ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah
menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar”
menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern
biasa menyebut karinding
ini dengan sebutan harpa mulut (mouth
harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara
memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan
di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan
benang. Sedangkan karinding
yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Awalnya karinding adalah alat yang
digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low
decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu,
maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan
bersawah, para karuhun memainkan karinding
ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan
sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh
para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika
keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang
popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih
pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti
gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Material yang digunakan
untuk membuat karinding (di
wilayah Jawa Barat), ada dua jenis:
1. pelepah kawung
2. bambu.
Jenis bahan
dan jenis disain bentuk karinding
ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai.
Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan,
karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang
laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa
disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan
tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak
menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya
1.
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2
cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan
pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi
yang diproduksi.
2.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama
menjadi tempat mengetuk karinding
dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang
dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk
dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
3.
Cara
memainkan karinding cukup
sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu
memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara
intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti
diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga
mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada
atau pirigan dalam memainkan karinding
ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar